
Chapter 8
Gatal Tak Kunjung Sembuh, Sampai Akhirnya Aku Belajar Menjadi Lebih Taat
11 June 2025
Aku seorang karyawan swasta di bidang pelayanan publik—penampilan adalah salah satu aset utama. Setiap hari harus tampil prima, rapi, dan terlihat segar di depan banyak orang. Tapi siapa sangka, sejak beberapa bulan terakhir, aku harus berjuang melawan kondisi kulit yang bikin stres luar biasa.
Awalnya, hanya gatal ringan. Lama-lama menjalar ke seluruh tubuh. Kulit kepalaku mulai dipenuhi ketombe dan gatal yang tak tertahankan.
“Mukaku aman, untungnya. Tapi jangan tanya telinga, leher, tangan, bahkan kaki—semua terasa seperti diserang serangga tak kasat mata. Rasanya pengen garuk sepuasnya sampai lega.”
Pekerjaanku juga nggak mendukung pemulihan. Jam tidur berantakan, stres tinggi, dan pola makan asal-asalan. Aku sempat ke beberapa dokter umum, tapi hasilnya nihil. Gatal terus datang, makin parah. Dan ketika pekerjaan sedang sangat padat, tubuhku benar-benar menyerah.
Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke Klinik Althea Vita.


Di sana, dokter menyambut dengan ramah dan mendengarkan keluhanku tanpa menginterupsi. Pemeriksaan menyeluruh dilakukan—kulit di tangan dan kaki penuh luka bekas garukan. Di bagian tubuh lainnya, lecet dan ruam tampak jelas.
Setelah evaluasi awal, dokter menjelaskan diagnosis yang masih harus dikonfirmasi lebih lanjut. Tapi satu hal yang pasti: semua ini diperparah oleh pola hidupku yang kacau. Begadang, stres, kurang istirahat, dan makanan tidak seimbang semuanya memperburuk kondisi kulit.
“Kondisi ini nggak bisa sembuh instan. Perlu perawatan bertahap, disiplin, dan kesabaran,” kata dokter waktu itu.
Aku diberi beberapa jenis obat, sabun khusus yang lembut di kulit, serta pelembap untuk membantu memperbaiki barrier alami kulit. Dan karena keadaanku sudah cukup parah, dokter menegaskan: jangan pernah berhenti pengobatan sebelum kondisi dinyatakan stabil.
Ternyata anjurannya bekerja cepat. Dalam kurang dari seminggu, keluhanku nyaris hilang. Gatal reda, luka mulai mengering, dan kulit terasa lebih tenang.
“Aku sempat mikir, ‘Ah, udah sembuh. Nggak usah lanjut obat lagi.’”
Dan itulah kesalahan terbesarku.
Hanya butuh beberapa hari sejak aku menghentikan pengobatan dan melewatkan jadwal kontrol, seluruh gejala kembali. Bahkan lebih menyiksa dari sebelumnya. Kulit yang baru mulai membaik kembali iritasi dan luka. Aku menyesal luar biasa.
Akhirnya, aku kembali ke klinik dengan rasa malu. Tapi lagi-lagi, dokter di sana tidak menghakimi.
“Nggak ada satu pun kalimat menyalahkan. Dokter malah bilang, ‘Nggak apa-apa, kita mulai lagi dari awal. Tapi sekarang kamu harus lebih konsisten, ya.’”
Rasanya seperti diberi kesempatan kedua.
Sekarang aku sedang menjalani fase pemulihan ulang, tapi kondisi kulitku jauh lebih stabil. Aku juga mulai membenahi pola hidup: tidur lebih cukup, makan lebih baik, dan tentu saja, taat pada terapi dan anjuran dokter.
Pelajaran dari Cerita Ini:
- Penyakit kulit tidak selalu bisa disembuhkan cepat. Butuh konsistensi dalam terapi dan pola hidup sehat.
- Berhenti pengobatan sebelum waktunya bisa memicu kekambuhan yang lebih parah.
- Dokter yang baik tidak hanya mengobati fisik, tapi juga merawat mental pasiennya. Rasa diterima tanpa dihakimi bisa menguatkan semangat untuk sembuh.
- Tubuh kita punya alarm sendiri. Jangan abaikan sinyalnya.
Kini aku belajar satu hal penting: kesembuhan bukan hanya tentang minum obat, tapi juga tentang kedisiplinan dan tanggung jawab atas tubuh kita sendiri. Jangan tunggu sampai kondisi memburuk untuk peduli.